Sabtu, 01 Mei 2010

Hedonisme dan Materialisme: Jika Arah dan Tujuan Pendidikan Kita Sekarang



[Gambar ini Penulis jepret waktu naik kendaraan. Sungguh ironis.. ceweknya pake jilbab (jilbaber) tapi pas naek motor roknya di naikkin sehingga jadi bupati, ‘buka paha tinggi-tinggi’. Waktu itu Penulis pake kamera VGA, jadi maaf aja pencitraannya kurang bagus.]


Woooiii anak-anak SMANRA... kelas XII tahun Ajaran 2010, gimana kelulusannya? Wah aku dhewe urung ngerti kabare e... lulus kabeh ora yo... 100% koyo jamanku nanu...? Wah, seneng banget kuwi nek do lulus kabeh... Dan semoga luluse tenanan, orisinil, engga Cuma lulus ‘ndompleng’.

Terlepas dari benar-atau tidaknya, sah atau nggak sah nya, aku dhewe termasuk orang yang terkena fitnah kecurangan dalam UN. (Astaghfirullah...) tapi bagaimana lagi kang, kita sudah masuk dalam sistem. Dan ibarat masuk dalam sungai, kita Cuma bisa bertahan dalam arus. Ikut hanyut, atau berusaha agar tidak tenggelam, dan jika melawannya, wahhh... sulit banget bozzz...

Sehingga setelah semua terjadi, timbul pertanyaan: sudah kah jenengan-jenengan, adik-adik ku (Yo aku kan alumni, berarti kowe yo adik ku) menyiapkan diri kalian terjun kedunia ‘yang berbeda dengan dunia kalian selama ini?’ Dunia untuk manusia yang siap hidup, siap untuk berjuang. Dunia yang tak butuh para pengecut dan pemalas. Yang akan terpecut cemeti kegagalan atau tergilas roda-roda zaman. Dan itu hanya akan bisa dijawab bagi mereka yang ‘benar-benar lulus’.

Oya, apa kalian udah pernah baca buku “Sekolah saja tidak pernah cukup?” karangan eh tulisannya Andreas harefa (Bukan Andrea Hirata lo...) wah... keren boz buku kuwi. Buku itu berbicara tentang eksistensi pendidikan dan esensinya. Kondisinya sekarang dan proyeksinya ke depan. Buku itu banyak berbicara tentang kekurangan pendidikan dan solusinya. Hal yang dikupas mengenai arah dan tujuan pendidikan cukup menarik, mungkin bisa di pertanyakan pada jenengan semua, “Apa tujuan anda sekolah...?” lalu anda kuliah, “Apa tujuan anda kuliah..?” cari kerja? Lalu “apa tujuan anda cari kerja?” sehingga nanti kembali ke pada pertanyaan substansial, “Lalu apa tujuan pendidikan sebenarnya?”



Andreas Harefa menulis, jika pendidikan hanya bertujuan seperti itu, maka lebih baik selulus SMA (Atau mungkin cukup wajar 9 tahun saja), anak-anak langsung saja terjun ke dunia pasar. Bukankah dengan demikian mereka telah ‘mencuri’ START lebih dulu dan lebih menguntungkan daripada mereka yang bertahun-tahun di bangku kuliah...?

Lucunya lagi, mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi sampai S3 (Es Tri) Cuma menjadi pegawai negeri sipil aja sudah bangganya bukan main. Berlomba-lomba orang mengejar CPNS padahal sesungguhnya mereka telah mengerdilkan semua kemampuan dan merendahkan harkat mereka sebagai manusia (Seutuhnya). Ya, PNS sebenarnya sama dengan buruh-buruh lainnya.

Di sisi lain, mereka yang tidak punya latar belakang akademis tinggi, (Mungkin Cuma sekolah wajar 9 tahun) bisa berhasil, melampaui mereka yang doktor-doktor itu. Inget kata-kata Pak Tri boz (Duh kasian angkatan baru yang nggak pernah nyicipin pengajaran bapak sepuh kita ini, penulis sendiri sangat bersyukur menjadi angkatan terakhir yang merasakan pengajaran beliau sebelum pensiun) kalau Tukul misalnya, atau artis lainnya yang Cuma negelawak atau bekerja di dunia entertain yang justru mengajarkan budaya dan moral yang merusak pendapatannya lebih tinggi daripada mereka, ‘Pahlawan tanpa tanda jasa?’

Meski demikan, hal ini tidak tercela sepenuhnya. Tidak ada yang disalahkan orang yang mau jadi pegawai. Tapi kalau aku ingat, salah satu nasehat Hasan Al Banna (Maaf kalau salah) adalah, jangan pernah berharap jadi pegawai negara. Dan jadikan itu serendah-rendah pekerjaan.

Yang jadi miris adalah ‘produk’ pendidikan sekarang –yangcuma menjadi robot-robot industri itu- juga menjadi korban budaya hidup hedonisme dan materialisme.


Hedonisme; Ciri budaya makhluk akhir zaman.

Pelajar-pelajar kita, lihat aja tingkahnya. Dulu pas aku SMA masya Allah... entah sekarang. Budaya seperti pacaran, minum-minuman keras, berkelahi dan seabrek kenakalan remaja lainnya. (Penulis mengakui juga kalau dulu pernah ikut-ikutan, hehe... TAPI...untung sekarang udah taubat, Alhamdulillah... la mulane nulis artikel iki sich...) mungkin tidak hanya karena pengaruh dari dalam. Tapi yang paling berpengaruh juga sistem pendidikan kita.

Lihatlah pendidikan agama dan moral. (Maaf Bu Sutriyah, bukannya saya mau menggurui ibu), tapi pendidikan bukan hanya omongan, bukan sekedar transfer, ia adalah suatu interaksi, suatu Pengajaran tentang bagaimana caranya bertingkah dengan tingkah, caranya mengucap dengan ucapan dan sebagainya. Intinya, Pendidikan adalah keteladanan.

Kalau aku melihat, sebenarnya pendidikan di Indonesia sudah cukup. Aku sendiri bukan pakar pendidikan, hanya saja ada beberapa koreksi yang mesti dilakukan. Kenapa? Karena cukup itu belum tentu bisa sesuai dengan perkembangan zaman ke depan. Kita tahu kan, sistem atau kurikulum pendidikan kita masih buatan manusia yang notabene penuh kekurangan. Jadi, ya, kurikulum pendidikan kita bolak-balik kudu diupdate, la wong UUD aja sering diamandemen...?

Lalu hal yang paling esensial, tujuan pendidikan itu sendiri. Mungkin seperti yang dilontarkan Andreas harefa, aku sendiri ikut concern masalah ini. Bahwa Islam mengajarkan umatnya menuntut ilmu, agar bisa beramal dengan benar dan berdakwah lalu dengan itu bisa memakmurkan bumi yang akhirnya itu semua berhulu pada arti tujuan (diciptakan) hidup di dunia, yakni beribadah kepada Allah.

Tapi, ironis kalau masyakarat kita mengenal pendidikan : untuk dapat kerja: untuk dapat uang: untuk mencapai kenikmatan duniawi. Ya, hanya sebatas itu. Inilah hedonisme.
Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Berasal dari kata (Hedone), yang artinya kesenangan. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia.

[Hedonisme diajarkan pertama kali oleh kedua Filsuf Yunani; Aristipos dan Epikuros. Mereka melihat bahwa manusia melakukan setiap aktiviti -pasti- untuk mencari kesenangan dalam hidupnya. Dua filsuf ini menganut dua aliran yang berbeda. Aristipos lebih menekankan kesenangan badan atau jasad seperti makan, minum, dll. Epikuros lebih menekankan kepada kesenangan rohani seperti bebas dari rasa takut, bahagia, tenang batin, dll. Kedua filsuf ini setuju bahwa harus ada sifat pengendalian diri pada saat melaksanakan idea tersebut ]

Waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami perkembangan dengan lahirnya semboyan baru. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap embusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.
Pengertian kenikmatan berbeda dari kebahagiaan. Kenikmatan cenderung lebih bersifat duniawi daripada rohani. Kenikmatan hanya mengejar hal-hal yang bersifat sementara. Masa depan tidak lagi terpikirkan. (Sumber: suaramerdeka.com dengan sedikit perubahan)

Nah, apa bisa kita lihat sekarang? Pak tri juga merupakan pemerhati. Engga laki-laki engga perempuan. Meski tidak dipungkiri sebenarnya mereka juga adalah ‘korban’. Tapi korban yang mau mengorbankan dirinya sendiri baik sadar maupun tidak. Lihat aja, remaja kita Cuma bisa berhura-hura, nek ono pelajaran kosong pada di luar, atau bahkan bolos. (Penulis sendiri dulu begitu, tapi jarang bolos lo..) belum yang sukanya BF-an, nyolong pentil (Udah jadi lumrah malah...waduh...), berkelahi, dll. Yang perempuan dandanannya. Wah mungkin seperti yang digambarkan Rasulullah (Wanita yang berpakaian tapi telanjang) Maaf ya kalau ada yang tersinggung, tapi apa boleh buat, inilah kebenaran.

Penulis dulu pernah ikut Rohis. Tapi anggota Rohis juga ga luput dari fitnah ini. Fitnah (Cobaan) ini memang mendera kebanyakan anak muda. Dimana ilmu, kejiwaan dan materi yang belum mapan, sering menjerumuskan mereka disaat yang bersamaan mereka mencari jati diri. Jadi akhirnya, mereka terjerumus dalam kubangan maksiat.

Virus hedonisme yang telah menjalar ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh westernisasi. Ya, pengaruh barat. Nabi pernah bersabda kalau umat Islam nantinya ikut-ikutan kaum dahulu sejengkal demi sejengkal, saat ditanya siapa mereka (umat dahulu itu) Nabi menjawab siapa lagi kalau bukan Yahudi dan nasrani.

Materialisme: Duet Maut...!
Dan selain virus hedonisme, juga ada virus materialisme. Yang berarti semuanya dinilai serba materi. Sampai aku pernah dengar kalau cewek-cewek tu memberikan standar bagi pasangannya (calon suami mungkin) adalah; bukan “apa adanya..”, tapi “adanya apa...?”

Kekayaan jadi suatu standar. Benarkah? Memang uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya bisa macet tanpa uang. Demikian kata mereka. Kalau aku sendir i sich bilang, keduniawian ini sebenarnya tak ada masalah. Kemaslahatan ditempuh dengan cara yang maslahat pula. Termasuk mencari keduniawian.

Tapi masalahnya, bagaimana jika yang terlahir justru generasi-generasi yang tak mampu mandiri? Generasi-generasi loyo? Korban dari sistem pendidikan yang perlu diperbaharui (kalau ngga mau dibilang kuno), jadi mereka semata-mata mencari ilmu (mencari pendidikan) hanya untuk mencari uang/duniawi saja?

Andreas Harefa menulis, kalau pendidikan seperti itu bukankah lebih baik diganti saja sekolah dengan lembaga-lembaga kursus? Ya, termasuk pendapat ‘ekstrim’nya untuk membubarkan lembaga pendidikan yang disebut dengan sekolah dan universitas itu.

Prihatin sungguh prihatin...

Maka dengan ini saya nasehatkan kepada diri saya sendiri dan teman-teman, guru-guru ku dan aik-adik kelas ku yang sudah menerima pengumuman kelulusan, maupun yang belum, keluarga SMANRA, agar lebih memajukan pendidikan kita. Memajukan pendidikan bagaimana? Yakni kembali mengingat apa tujuan kita dididik, apakah hanya sebagai mesin-mesin uang lalu mati dan tak berguna sama sekali bagi sesama, atau seperti hakikat Khalifah yang Allah percayakan kepadanya bumi dan seisinya untuk diberdayakan?

Pendidikan sekali lagi harus back to Allah. Kembali kepada tujuan yang sejatinya. Tujuan manusia diciptakan. Kalau andreas harefa menulis untuk menjadikan manusia seutuhnya, maka aku berpendapat untuk menjadi Khalifah yang sesungguhnya. Sehingga alam ini makmur, bangsa ini terangkat derajatnya dan tidak jadi lagi (Maaf,Bangsa kuli-babu, pengekspor tenaga-tenaga pembantu), Sehingga itulah kemerdekaan...!

Akhir kata, bangkitlah pendidikan Indonesia...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar