Jumat, 07 Mei 2010

Proyeksi Antara Zakat dan Pajak: Quo Vadis?



Baru-baru ini asrama (Atau apa ya nyebutnya…?) dapet Surat Peringatan (Atau apa ya istilahnya…?) Ya semacam itulah dari DepKeu RI Dirjen Pajak (Yang nganterin sich Tukang Pos…) yang isinya, intinya antara lain nagih Pajak. Ada istilah ngisi NPWP lah… dan sebagainya. Aku ngga terlalu concern soalnya ada ‘Kakang-kakang’ senior yang lebih berwenang. Jadi, cuma ‘curi-curi dengar’ (Apaan tuh curi-curi dengar ? ya begitulah, hehehe…)


Yah.. berawal dari situ aku tertarik buat ngebahas soal pajak. Terlebih lagi, pajak versus zakat. Kenapa? Ya ada perbedaan mendasar nan unik diantara keduanya. Juga, ada persamaan yang bisa dipertimbangkan untuk masa depan keduanya. Ya, masa depan antara zakat dan pajak.

Di tengah gembar-gembornya masalah pajak; ingat kasus Gayus kan…? Wah kalau udah yang beginian sich mumet tenan rek… gimana PNS Golongan III A (Golongan apa tuch?) udah punya rekening dan apartemen mewah gara-gara nggelapin pajak. Ujung-ujungnya kasus ini yang seperti efek domino yang menyeret beberapa pejabat lainnya dari instansi Polri. Waduh…waduh… kalau lihat begini jadi inget tulisan kolumnis di sebuah media, Penulis inget waktu itu kolumnis menyebutkan kalau masyarakat jangan khawatir dan apatis pajaknya akan digelapkan sehingga beranggapan tidak usah atau menjadi enggan membayar pajak.

Sebenarnya memang, bukan masalah penyalahgunaan atau pelanggaran dalam perpajakan ini yang menjadi pandangan terhadap pajak perlu direvisi ulang. Karena kesalahan tetap kesalahan. Human error bukan berarti sistem error. Pemilik kendaraan bermotor yang memiliki SIM tapi ugal-ugalan sedangkan pemilik kendaraan bermotor yang disiplin tapi tidak memiliki SIM bukan berarti SIM menjadi tidak penting. Setiap aturan memang bertujuan mengatur agar terlaksananya tatanan yang lebih baik (Wuih.. bijaksana banget bos..)

Kembali ke pajak. Artinya apa? Artinya, kita perlu melihat kembali, apa hakikat pajak yang sebenarnya? [Permasalahan ini kalau ditanggapi seirus… eh, serius butuh banyak waktu dan tenaga. Karena banyaknya pendapat atau teori dan sudut pandang yang harus dipakai baik agama maupun ekonomi, bahkan politik, karena itu ane cuma mau membahas ringan-ringan saja, wong esih cah wingi sore e…]

Pajak berasal dari kata al-dharibah yang berarti beban. Kadang kala juga diartikan sebagai al-jizyah yang berarti pajak tanah atau upeti. Pada QS. At-Taubah[9]: ayat 29 dijelaskan hakikat al-jizyah ini adalah: pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam sebagai perimbangan jaminan keamanan diri mereka sendiri. Namanya Kafir dzimmi, artinya (gampangnya) harus dilindungi sedangkan kafir harbi adalah kafir yang harus diperangi. [Permasalahan ini sangat penting bagi kalangan umat Islam yang notabene sekarang terkena fitnah teroris, karena diduga, hal ini disebabkan salah tafsir kafir harbi dan dzimmi, untuk masalah ini saya akan membahas kapan-kapan, sekarang kita fokus ke pajak dan zakat dulu]

Nah, melihat definisi pajak demikian, bagaimana hukumnya?

Para ulama menjelaskan dalam kondisi biasa seorang muslim tidak diwajibkan selain zakat, kecuali dengan sukarela.

1. Dalam kondisi darurat terdapat kewajiban harta selain zakat, yang disepakati para ulama, yaitu:
a. Hak kedua orang tua, dalam bentuk nafkah yang mereka butuhkan pada saat anaknya kaya.
b. Hak kerabat, dengan perbedaan tingkat kedekatan yang mewajibkan nafkah.
c. Hak orang-orang yang sangat membutuhkan pakaian atau rumah tinggal.
d. Membantu keluarga untuk membayar diyat pembunuhan yang tidak disengaja.
e. Hak kaum muslimin yang sedang ditimpa bencana.

2. Masih ada hak-hak lain yang masih diperdebatkan apakah wajib atau sunnahh, antara lain:
a. Hak tamu selama tiga hari.
b. Hak orang yang hendak meminjam kebutuhan rumah, bagi tetangga.

3. Sedangkan hak fakir miskin terhadap harta orang kaya secara umum sudah banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits. Dan bentuk masyarakat Islami yang saling melindungi tidak akan pernah terwujud tanpa hal ini.

(Sumber: dakwatuna.com)

Ketika zakat sudah mengcover kebutuhan fakir miskin, maka orang-orang kaya tidak diminta yang selain zakat. Namun jika zakat belum mencukupi, maka harus diambilkan dari orang-orang kaya selain zakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dasar fakir miskin. Nah dari sinilah pajak mendapat tempat sebagai alternatif.

Seperti juga untuk biaya pertahanan dan keamanan negara, maka sumber seperti pajak (Non Zakat) diperbolehkan ulama (ane sendiri ga tahu ulama yang dijadikan rujukan cuma dari artikel yang ane kutip dari internet begitu…). Namun meskipun begitu, bolehkah menetapkan pendapatan Non Zakat secara permanen? Itu masih dalam khilafiyah ulama.

Dalil yang memperbolehkan pajak:
a. Jaminan sosial kaum muslimin hukumnya wajib. Jika dari zakat dan pendapatan kas negara tidak cukup, maka boleh menetapkan pajak tambahan kepada orang kaya.

b. Belanja negara sangat banyak, pos-pos dan sumber zakat sangat terbatas, maka bagaimana mungkin mampu menutup kebutuhan negara yang tidak masuk dalam pintu distribusi zakat? Dan bagaimana mampu menutup pos penerima zakat jika sumber zakatnya sangat kecil?

c. Kaidah Fikih menyatakan: “Kewajiban yang tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya sarana, maka menghadirkan sarana itu menjadi kewajiban pula.” Berangkat dari sini, Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i memperbolehkan imam untuk mewajibkan kepada orang kaya untuk membiayai kebutuhan seorang tentara. Demikian juga Imam Asy-Syathibiy Al-Maliki, memperbolehkan imam yang adil untuk menugaskan orang kaya membiayai tentara selain dari baitul mal. Dan para ulama lain berpendapat seperti ini.
(Sumber: dakwatuna.com)

Bagi penulis sendiri, melihat maslahat yang dimaksud oleh pajak demikian, sah-sah saja untuk menghukumi pajak diperbolehkan. Hanya saja, hanya saja… melihat dari keadaan riil dunia perpajakan indonesia, apakah benar-benar kaidah ini berlaku? Penulis mencoba lihat di Wikipedia, di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
1.Pajak Negara
a.Pajak Penghasilan
b.Pajak Pertambahan Nilai
c.Pajak Penjualan Barang Mewah
d.Pajak Bumi dan Bangunan
e.Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
f.Pajak Bea Masuk dan Cukai

2.Pajak Daerah
a.Pajak Kendaraan bermotor
b.Pajak radio
c.Pajak reklame

Coba perhatikan daftar di atas? Mungkin bagi kita-kita lihatnya wajar-wajar aja ya…? (Ya iyalah… soalnya di kamuflase secara majas Litotes, Kata Bu Tuty, hehehe…) Pajak-pajak itu seperti penghasilan, pertambahan nilai, penjualan barang mewah, bumi bangunan dan lain-lain, mencakup dan memukul rata semua objek pajak. Efeknya, sumber-sumber yang berbau maksiat juga ikut dikenai pajak. Coba aja kalau ga percaya, kalau kita beli rokok atau miras, di bungkusnya (Wallahu a’lam kalau miras) ada tulisan intinya sudah dikenai pajak. Nah, itu juga berlaku di pajak bumi bangunan, kafe-kafe dan diskotik yang menawarkan kemaksiatan juga ‘menyumbang’ pajak.

La, kalau sumber nya saja begitu, lalu bagaimana urusan nya (Bagaimana jadinya?). Lalu proses yang ‘tidak begitu’ (Kalau tidak mau dikatakan ‘tidak’) transparan, ujung-ujungnya ke masyarakat pun diragukan tepat sasaran.

Kesadaran kecil ini tidak bisa diremehkan karena sistem pajak yang demikian akan menentukan arah kemana pajak itu nantinya. Pembangunan yang kita rasakan saat ini memang merupakan dampak yang luar biasa dari pajak (Konon, sumber APBN kita 50% nya dari pajak bos…!). Tapi, adilkah sedangkan sumber-sumber daya lain bisa dimanfaatkan masih dinganggurkan bahkan dimanfaatkan asing? Dan rakyat Indonesia (baca: umat Muslim) harus iuran untuk belanja negara?

Sekarang kita melihat zakat. Wikpedia sendiri menyebutkan faedah zakat banyak sekali baik dari segi diniyyah (Agama), khuluqiyah (Akhlak), dan ijtimaiyyah (Sosial kemasyarakatan), dan kita sendiri sudah mafhum sekali kalau zakat adalah kewajiban yang begitu ditekankan. (Inget pelajarannya bu Sutriyah ga rek…? Kalau dulu Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu saat memegang jabatan Khalifah, beliau memerangi orang yang enggan membayar zakat?)

Nah, berangkat dari Al Qur’an itulah, baik instansi Pemerintah maupun swasta*) membuka pelayanan zakat.
[*)Untuk swasta ini, gara-garanya sistem Pemerintah yang lagi-lagi ga transparan, lahirlah gerakan lazis-lazis atau ziswaf-ziswaf swasta yang menampung zis kaum Muslim, diantaranya Dompet Dhuafa Republika… Namun belakangan, Penulis denger kabar kalau ada yang menggembosi gerakan ini dengan pendapat bahwa zakat di lazis swasta adalah bid’ah. Entah apa maksud dan tujuannya…]

Zakat yang hanya mengambil dari sumber-sumber yang bersih dan halal. Dalam buku-buku Fiqh, harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam yaitu Zakat Harta dan Zakat Fitrah. Kemudian Zakat Harta dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian sbb.:

1. Zakat Emas, Perak dan Perhiasan
2. Zakat Hewan dan Produk Hewani
3. Zakat Pertanian dan Hasil Bumi
4. Zakat Barang Perdagangan
5. Zakat Rikaz dan Barang Tambang

(Sumber: pkpu.or.id)

Islam yang mengajarkan umatnya untuk tidak mencari rizki yang tidak halal, demikian juga berarti tidak memetik zakat dari sumber-sumber yang tidak halal. Lalu (ini hikmah dari adanya Lazis swasta) peran Lazis swasta yang kian marak kini, menjadikan zakat bisa dimonitoring oleh semua kalangan. Bahkan pendistribusiannya lebih bisa mengena. Penulis sendiri melihat, berbagai lazis sekarang selain berlomba menggalang dana zis (Zakat Infaq Shodaqoh) juga berlomba mengadakan event-event yang bertujuan untuk menyalurkan zis tersebut.

Beberapa perbedaan zakat dengan pajak pun perlu diperhatikan. Diantaranya Sifat (Dimana zakat terus menerus sedangkan pajak tertentu dan dapat dihapuskan, seperti yang disebutkan Ust. Abu Fatiah Al Adnani kalau Nabi Isa yang nanti akan turun ke Bumi di akhir zaman akan menghapus semua pajak/Jizyah), Subyek (Dimana subyek zakat adalah kaum Muslim sedangkan pajak semua golongan), Obyek (Zakat 8 asnaf sedangkan pajak pembangunan negara. Dll), harta yang dikenakan (Zakat: harta yang produktif sedangkan pajak: semua harta) dan masih banyak lain nya perbedaan di antara keduanya.

Maka inilah, sekali lagi. Sebuah kesadaran bagi kita betapa manfaat zakat yang sangat besar. Dan persamaan diantara zakat dengan pajak (yakni memberi manfaat dan maslahat) menjadikan pertimbangan bagi kita: Sudahkah waktunya menggeser pajak dengan zakat? Menggeser yang bagaimana? Menggeser dalam artian jika Negara selama ini tidak begitu concern terhadap zakat, tapi sebaliknya begitu perhatiannya kepada pajak, akankah hal ini sebuah pertanda kalau Allah tidak memberikan berkah-Nya? Sehingga berbagai lika-liku dan problematika selama ini tentang pajak bisa ditutupi lewat zakat?

Potensi zakat pun tidak bisa diremehkan. (Kira-kira 20 triliyun ada lah…coz penulis lupa, kemarin ada seminar tentang Indonesia Zakat and Development Report, sayangnya Penulis ga concern ke seminarnya… Ya iyalah.. coz waktu itu kan penulis ketemu Akhwat, jadinya ga concern… hahaha, engga ding…:-D) Bahkan di zaman Khalifah Umar Radhiyallahu ‘Anhu, ada Provinsi tertentu di Negara Islam yang tidak memiliki mustahiq (Penerima Zakat) dan bahkan memiliki kelebihan zakat yang belum disalurkan karena makmurnya provinsi tersebut karena zakat.

Ini sekali lagi, menjadi pertanyaan kepada kita. Apa dan Mau kemana Pajak dan Zakat ke depan itu…? Penulis sendiri berharap, zakat nantinya bisa terus berkembang. Pajak kalau bisa dihapuskan. (Ini juga sebagai pemberitahuan begitu, kalau orang yang telah dikenai zakat, maka seharusnya kewajiban pajaknya dikurangi sehingga tidak terjadi kezhaliman). SDA-SDA kembali dimanfaatkan seutuhnya, biarlah negeri sendiri yang menikmatinya… sehingga terciptalah negeri yang sejahtera dan diampuni (Dirahmati) Allah… Amin…

[Penulis yang masih ‘anak kemarin sore’ ini, cuma bisa berharap, agar salah satu syari’at Islam ini bisa ditegakkan. Sungguh, merupakan kejayaan dan kemaslahatan yang besar manakala Manusia mau kembali dan beribadah secara benar kepada Allah…]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar